Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Indonesia, apakah memang Fatherless Country

Anybody can be a father, but it takes a special man to be a Dad".

-Steve Harvey.

  1. Bapaknya senang bikin anak, tapi tidak mau merawat, mendidik dan menafkahi anak.
  2. Bapaknya senang bikin anak, tapi anak-anak tersebut di eksploitasi sejak masih kecil untuk bekerja dengan dalih berbakti. Sementara bapaknya ini asyik menganggur di rumah.
  3. Bapaknya tidak peduli dengan pengasuhan anak. Karena dia meyakini itu tugas istrinya saja.
  4. Bapak yang perilakunya gampang tantrum, emosian, lisannya mudah nyepatani dan tega caci maki anak kandung sendiri.
  5. Bapak yang sering melakukan kekerasan fisik dan verbal ke istrinya. Sementara anak kandung melihat itu semua.
  6. Bapak yang sangat peduli sama orang tua, kakak dan adik-adiknya. Tapi tidak peduli dengan anak kandung sendiri.
  7. Bapak yang lebih peduli teman-temannya daripada keluarganya sendiri.
  8. Bapak kandungnya tiap berbuat kesalahan bukannya mengakui dan meminta maaf malah playing victim sampai cherry picking dalil agama demi membenarkan perbuatan salahnya.

Segala privilege yang dimiliki pria kemudian melahirkan tendensi untuk abuse power.

Siapa yang menciptakan itu? Sistem di society kita sendiri.

Berangkat dari situ, lahirlah pemberontakan dari kaum wanita yang saat ini kita kenal dengan istilah feminisme.

Feminisme sendiri kemudian bergeser esensinya yang menciptakan peluang bagi wanita untuk abuse power sebagai aksi balas dendam terhadap sistem perbudakan perempuan di masa lalu yang masih terus berlanjut sampai masa sekarang.

Suatu saat nanti bukan hanya fatherless issue. Masyarakat kita juga akan berhadapan dengan motherless issue. Di mana wanita akan menjadi pasif dalam mendidik anak. Dan terus berulang. Selama tidak ada kesadaran dari masyarakat kita bahwa pria dan wanita harus memiliki peran yang equals dalam mempertahankan eksistensi genetik, termasuk dalam mendidik anak-anaknya sebagai generasi penerus.